Definisi Agama
Din dalam bahasa Arab sering diterjemahkan secara leksikal sebagai agama dalam bahasa Indonesia atau padanannya dalam bahasa Inggris sebagai ‘religion’, atau religio dalam bahasa Latin kerap digunakan untuk beberapa makna. Dan yang terpenting dari makna-makna tersebut adalah, ganjaran, ketaatan, kebiasaan, tradisi, hukum, stipulasi (qaid), dan sebagainya. Dan yang paling orisinal di antara makna-makna di atas adalah ketaatan dan loyalitas.
Secara terminologis agama dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Seperangkat aturan dan hukum-hukum normatif yang mengatur dan menata kehidupan manusia dalam rangka mentaati aturan Tuhan.
2. Sebagai komplementer dari definisi di atas agama dapat didefinisikan sebagai aturan dan stipulasi yang diterima manusia dalam ranah keyakinan terhadap Tuhan dalam perilaku kehidupan manusia.
Berdasarkan definisi di atas, agama memiliki dua rukun asasi, 1. Keyakinan terhadap Tuhan. 2. Amal dan perbuatan sesuai dengan tuntutan keyakinan tersebut.
Analisa Beberapa Hipotesa Atas Kemunculan Agama
Kini mari kita menganalisa atas beberapa hipotesa atas mengapa manusia cenderung kepada agama dan menjadi pemeluk salah satu agama. Masing-masing hipotesa yang akan kita bahas masing-masing sarat dengan kritik, lantaran kenyataan sejarah berbicara sebaliknya.
a. Asumsi Kejahilan
Salah seorang sosiolog ternama mengatakan, “Meskipun ilmu dan sains telah berhasil menyingkap pelbagai misterius, namun betapa yang telah tersingkap itu masih kabur di balik tirai ilmu, dan keperluan untuk memahami hal-hal misterius ini telah menyebabkan kemunculan agama.”[1]
Salah seorang filsuf materialis menambahkan bahwa tatkala manusia menatap kejadian-kejadian sejarah, dengan alasan yang sangat jelas mereka membayangkan bahwa ilmu (baca: sains) dan agama adalah dua musuh bebuyutan yang tidak dapat berdamai. Sebab, tatkala seseorang meyakini hukum kausalitas, pada detik yang sama ia tidak dapat memberikan peluang kepada akalnya untuk membayangkan bahwa barangkali terjadi dalam lintasan peristiwa-peristiwa yang menciptakan rintangan dan kendala atas terjadinya sebuah peristiwa.[2]
Sederhananya, mereka hendak mengklaim bahwa ketidaktahuan manusia terhadap sebab-sebab alami telah menyebabkannya berpikir akan adanya kekuatan di luar alam yang menciptakan dan mengatur semesta raya ini. Dengan demikian, tidak terungkapnya faktor dan sebab-sebab alami ini menjadi alasan baginya untuk meyakini keberadaan Tuhan dan agama.
Kesalahan mendasar para penggagas pendapat ini akan terlihat jelas melalui poin-poin berikut ini:
Pertama, mereka membayangkan bahwa beriman kepada keberadaan Tuhan berarti mengingkari hukum kausalitas. Dan kita berlaku sebagai seorang hakim; apakah kita harus menerima sebab-sebab alami tersebut atau menerima keberadaan Tuhan?
Padahal dalam filsafat Islam, meyakini hukum kausalitas dan menyingkap sebab-sebab alami merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk dapat mengenal Tuhan.
Kita tidak pernah mengkaji Tuhan di antara ketakberaturan dan kejadian-kejadian yang tak jelas. Akan tetapi, kita menemukan-Nya di antara keteraturan-keteraturan alam semesta. Karena, adanya keteraturan ini merupakan penanda jelas atas wujud satu Sumber Awal bagi alam semesta dan wujud satu Kekuatan yang mengaturnya.
Kedua, mengapa mereka lalai bahwa sesungguhnya manusia semenjak dahulu hingga hari ini melihat adanya sistem yang khas yang berlaku atas jagad raya ini. Menafsirkan sistem ini dengan sebab-sebab irasional tidak mungkin dapat diterima. Dan mereka menganggap keutuhan sistem jagad raya ini sebagai pertanda wujud Tuhan. Akan tetapi, pada masa lalu, sistem ini tidak banyak dikenal orang. Dan semakin maju ilmu-pengetahuan manusia, semakin ia dapat menyingkap seluk-beluk sistem jagad raya ini. Dengan demikian, ilmu dan kemahakuasaan Sumber Awal bagi keberadaan semesta ini akan semakin gamblang.
Atas dasar ini, kita yakin bahwa iman kepada keberadaan Tuhan dan agama relevan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dan setiap penemuan baru akan rahasia dan aturan-aturan jagad raya ini merupakan langkah baru untuk pengenalan yang semakin cermat terhadap Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan hari ini dalam rangka mengenal Tuhan tentu tidak pernah dikenal oleh manusia jaman dahulu, lantaran mereka tidak menikmati kemajuan ilmu pengetahuan.
b. Asumsi Rasa Takut
Will Durant, seorang sejarawan kenamaan Barat, di dalam buku sejarahnya, ketika membahas “Sumber-sumber Agama”, menukil pendapat Luctrius, seorang filsuf Romawi, bahwa rasa takut adalah ibu para dewa! Dan bagian rasa takut yang paling penting ialah rasa takut dari kematian. Atas dasar ini, manusia pertama tidak dapat meyakini bahwa kematian adalah satu fenomena alam. Oleh karena itu, mereka senantiasa menganggap bahwa sebab metafisislah yang menjadi penyebab kematian itu.[3]
Senada dengan teori di atas, B. Russel berkata, “Aku berasumsi bahwa sumber agama -sebelum segala sesuatunya- ialah rasa takut. Rasa takut bersumber dari musibah-musibah alam, dari peperangan dan sebagainya. Rasa takut dari pekerjaan-pekerjaan salah yang dilakukan manusia ketika syahwat mendominasi.”[4]
Kekeliruan asumsi ini akan tampak jelas bila para pendukung asumsi ini sepakat bahwa akar keyakinan kepada Tuhan dan agama tidak memiliki dasar metafisis. Dan tentu saja, harus ditemukan sebuah faktor di alam semesta ini. Sebuah faktor yang akhirnya kembali kepada prasangka dan khayalan belaka. Oleh karena itu, mereka senantiasa melihatnya dalam kerangka cabang dan melupakan kerangka aslinya.
Benar bahwa iman kepada Tuhan memberikan kekuatan spiritual dan ketenangan kepada manusia. Benar bahwa manusia akan bersikap prawira dalam menghadapi kematian dan berbagai peristiwa pelik yang dialaminya; terkadang berupa sikap pengorbanan. Akan tetapi, mengapa kita lupakan faktor-faktor yang kerap hadir secara telanjang di hadapan mata manusia, yakni sistem semesta yang berlaku atas bumi dan langit ini, kehidupan flora dan fauna, dan keberadaan manusia?
Dengan kata lain, meskipun manusia tidak memiliki ilmu anatomi dan fisiologi atau semisalnya, seketika mencermati struktur mata, telinga, hati, tangan dan kakinya, ia akan melihatnya sebagai sebuah bangunan yang menakjubkan dan kokoh. Bangunan kokoh dan menakjubkan ini niscaya tidak dapat dimengerti bila bersumber dari gejala-gejala aksidental dan faktor-faktor yang tidak masuk akal. Sekuntum bunga, seekor lebah, matahari dan bulan dan alurnya yang tertata apik serta fenomena-fenomena semesta lainnya merupakan contoh gamblang dari kenyataan itu.
Kenyataan ini senantiasa hadir di hadapan manusia semenjak dulu hingga kini dan ia merupakan faktor utama adanya iman kepada Tuhan. Lantaran melalaikan realitas nyata ini, akhirnya mereka mencari-cari faktor iman kepada Tuhan dan agama, lalu menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan oleh rasa takut dan kedunguan manusia. Atribut yang dapat kita lekatkan kepada mereka adalah “dungu” dalam menghadapi realitas telanjang ini dan “takut” terhadap kemajuan ideologi agama, sebab mereka melepaskan jalan utama dan terang ini, menapakkan kaki di jalan yang tak menentu, serta bersandarkan kepada asumsi-asumsi yang tak berdasar.
c. Asumsi Faktor Ekonomi
Eksponen asumsi ini adalah mereka yang percaya bahwa kekuatan penggerak sejarah adalah alat-alat reproduksi. Mereka yakin bahwa seluruh fenomena sosial, seperti budaya, ilmu, filsafat, politik, bahkan agama muncul sebagai akibat dari perkara ini.
Untuk menghubungkan kemunculan agama dan masalah-masalah ekonomi, mereka mengajukan penafsiran yang aneh. Di antaranya, mereka berasumsi bahwa menurut kaum imperialis dalam lingkungan sosial, dalam rangka mengenyahkan resistensi dan gerakan massif kaum terjajah, kaum imperialis mencandu mereka dan menciptakan agama. Kalimat yang terkenal dari Lenin yang tertuang dalam buku “Sosialisme wa Mazhab” (Sosialisme dan Agama) adalah, “Agama di tengah masyarakat merupakan candu.” Dalam kasus ini terdapat sederet ungkapan yang serupa; terulang-ulang.
Untungnya, penyokong asumsi ini (kaum sosialis) telah memberikan jawaban sendiri yang ternyata kontradiktif. Ketika mereka berhadapan dengan Islam sebagai gerakan sebuah bangsa tertinggal yang dapat menjungkalkan kaum imperialis seperti kesultanan Sasani, kekaisaran Romawi, para Fir’aun Mesir dan kesultanan Yaman dari singgasana kekuasaan mereka, terpaksa mereka mengecualikan Islam pada batasan minimal kasus ini dari fakta sejarah.
Lebih dari itu, tatkala mereka menyaksikan gerakan dan aksi-aksi Islam menentang kaum imperialis, khususnya pada masa kini, dan berhadapan dengan kekuasaan Timur dan Barat, atau resistensi bangsa Palestina atas kekuasaan Zionisme, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali meragukan analisa-analisa mereka sendiri. Biarkanlah mereka terjerat dalam pagar-pagar kesulitan, karena tidak mampu melihat terangnya sinar matahari.
Secara umum, dengan memperhatikan sejarah kemarin dan hari ini, khususnya sejarah Islam, akan tampak bahwa kemunculan agama tidak sesuai dengan asumsi mereka. Tidak hanya candu yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan sosial yang paling perkasa, akan tetapi masalah-masalah ekonomi juga membentuk bagian dari kehidupan manusia. Dan mendefinisikan manusia pada dimensi ekonomi merupakan kesalahan besar dalam mengenal motivasi dan kecendrungan transendental manusia.
d. Asumsi Kebutuhan kepada Etika
Dalam tema agama dan sains, Einstein berujar, “Dengan sedikit hati-hati, akan menjadi maklum bahwa agitasi dan perasaan-perasaan insani menjadi penyebab munculnya agama yang beraneka dan beragam coraknya….”. Setelah menyebutkan asumsi takut, ia menambahkan, tipologi manusia sebagai makhluk sosial juga merupakan salah satu faktor munculnya agama. Seseorang melihat orang tuanya. Kerabat, para pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia. Satu demi satu orang-orang di sekelilingnya berlalu. Setelah itu, harapan untuk terbimbing dengan petunjuk, menyukai, mencintai, bersandar dan bergantung adalah landasan yang membentuk keyakinannya kepada Tuhan”.[5] Dengan urutan seperti ini, Einstein beranggapan bahwa penyebab munculnya agama adalah motivasi moral dan motivasi sosial.
Mari kita kembali menelaah pendapat di atas. Orang-orang yang memberikan asumsi akhlak ini keliru dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui bahwa setiap efek tidak mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatkala menggali sebuah sumur yang dalam kita menemukan hartu karun. Ini adalah efek. Sedangkan penggerak dan motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk mendapatkan air, bukan untuk menemukan harta karun.
Oleh karena itu, adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita spiritual manusia. Iman kepada Tuhan dapat melepaskan manusia dari kesendirian tatkala harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta dan orang-orang besar yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi kekosongan akibat kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah sebuah efek, bukan sebuah motivasi.
Motivasi utama agama yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya; semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia mengenal kedalaman, kerumitan dan keagungan semesta ini. Ia sekali-kali tidak akan menerima begitu saja akan munculnya munculnya sekuntum bunga dengan segala elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh sistem sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang tak berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak kepada Sumber Awal sistem jagad ini.
Tentu saja kasus lain dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya.
Dan anehnya, Einstein sendirilah yang telah mengusulkan asumsi ini. Di tempat lain ia mengubah pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang berbeda, keyakinannya yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta dan imannya kepada Sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa ia mengingkari ideologi yang bergantung kepada khurafat-khurafat, bukan kepada sebuah tauhid yang tulus dan bersih dari segala bentuk khurafat.
Ia menuturkan, “Sebuah makna real dari keberadaan Tuhan di balik imaginasi-imaginasi yang secuil telah ditemukan oleh mereka.” Kemudian, Einstein dan para ilmuwan besar lainnya menamakan keyakinan mereka sebagai sebuah jenis keyakinan yang disebut “perasaan religius penciptaan” atau “perasaan religius keberadaan”. Dan di tempat lain, disebut sebagai “takjub yang mengairahkan dari sistem ajaib dan akurat jagad raya”.
Dan yang lebih menarik adalah penegasannya, “Iman religius adalah suluh bagi jalan pencarian hidup para cendikiawan.”[6]
Tentu saja, dalam masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya kita ingin melepaskan dari kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari pembahasan tafsir tematik.
Oleh karena itu, kita kembalikan kepada persoalan utama. Dan pembahasan ini kita akhiri sampai di sini. Kami ingatkan bahwa untuk mengetahui motivasi atau dorongan munculnya agama seyogyanya terlebih dahulu menelaah penciptaan semesta (alasan logis dan rasional), dan selepas itu mengkaji kekuatan magnetis dalam lubuk hati (motivasi fitri), kemudian mengalihkan perhatian kepada Sumber Awal Yang Agung, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya mengenai anugerah-anugerah-Nya yang nir-batas.[7]
Agama adalah Fitrah
Arti dari kata fitrah adalah manusia dapat menemukan hakikat tanpa memerlukan penalaran atau argumentasi, (yang sederhana ataupun yang rumit). Manusia dengan gamblang mendapatkan hakikat tersebut. Umpamanya, jika manusia melihat sekuntum bunga yang indah dan semerbak baunya, ia mengakui pesona bunga tersebut. Dalam pencerapan ini, ia tidak melihat adanya penalaran. Dengan serta-merta berkata, “Bunga ini elok rupanya”, tanpa memerlukan argumentasi.
Pengenalan terhadap Tuhan dan keberagamaan juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan fitri. Ketika seseorang menengok ke lubuk hatinya, ia akan melihat cahaya kebenaran. Ia akan mendengar seruan dari sudut sanubarinya. Seruan yang mengajaknya ke arah Sumber Awal, menghampiri ilmu dan kemahakuasaan-Nya di jagad raya ini yang tanpa tandingan; Sumber Awal yang merupakan kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna. Dalam pengetahuan fitri ini, ia persis seperti melihat keelokan bunga yang tidak memerlukan argumentasi.
Bukti-bukti Hidup atas Kefitrahan Agama
Barangkali seseorang mengatakan bahwa semua ini hanyalah klaim-klaim belaka, dan metode-metode untuk membuktikan kefitrahan agama tidak tersedia. Kita mungkin dapat mengklaim bahwa kita temukan perasaan seperti ini dalam lubuk hati kita, namun sekiranya ada seseorang yang enggan untuk menerima ungkapan semacam ini, bagaimana kita dapat memberikan jawaban kepadanya sehingga ia dapat menerima dengan puas?
Dalam menjawab ungkapan tersebut, sebenarnya kita memiliki pelbagai bukti yang tak terbilang jumlahnya dan dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat atas kefitrahan tauhid. Begitu gamblangnya bukti-bukti tersebut sehingga mulut pengingkarnya dapat dibungkam.
Bukti-bukti ini dapat disimpulkan ke dalam enam bagian:
a. Fakta Sejarah
Fakta-fakta sejarah yang didasari oleh pernyataan para sejarawan klasik dunia menunjukkan bahwa agama tidak ada di tengah masyarakat. Namun, mereka percaya pada satu Sumber Awal, Ilmu dan Kuasa di jagad yang mereka sembah. Apabila kita menerima aksioma ini, sejarah ini memiliki kaidah universal yang mengatakan bahwa komunitas manusia sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berada pada penyembahan akan kebenaran yang tidak mendatangkan kerugian bagi mereka. (Pada setiap kaidah universal, terdapat pengecualian).
Will Durant, sejarawan Barat dalam History of Civilization, setelah menyebutkan hal-hal berkenaan dengan kondisi tanpa-agama (dalam banyak masyarakat), mengakui suatu kebenaran, bahwa “Dengan adanya asumsi-asumsi yang telah kami sebutkan, kondisi tanpa-agama adalah sesuatu yang langka. Dan keyakinan kuno ini menyatakan bahwa agama adalah teladan yang diyakini oleh masyarakat secara umum dan sesuai dengan kebenaran, dan ini -menurut pandangan seorang filsuf-merupakan salah satu hukum dasar sejarah dan psikologi. Ia tidak merasa puas dengan satu teori yang menyatakan bahwa seluruh agama berasal dari hal-hal sia-sia dan batil. Sebaliknya, ia tahu bahwa agama senantiasa bersama sejarah sejak dahulu”.[8]
Masih pada pembahasan yang sama, Durant menambahkan, “Di manakah letak sumber keutamaan yang sama sekali tidak akan pernah hilang dari sanubari manusia ini?”[9]
Dalam Pelajaran-pelajaran Sejarah, berangkat dari rasa sedih dan geram, Durant berkata lebih tegas lagi, “Agama memiliki seribu jiwa. Setiap kali Anda membunuhnya, ia akan hidup kembali.”[10]
Apabila keyakinan kepada Allah Swt atau agama memiliki dimensi adat, taklid, dikte atau propaganda orang lain, niscaya ia tidak bersifat sedemikian umum dan serempak, serta terus berlanjut sepanjang perjalanan sejarah. Hal ini merupakan sebaik-baik bukti atas kefitrahan agama.
b. Argumentasi Para Arkeolog
Tanda-tanda forensik yang masih tersisa (yaitu, kondisi seluruh manusia sebelum adanya invensi tulisan dan penulisan), menunjukkan bahwa masyarakat pra-sejarah memiliki agama. Mereka percaya kepada Tuhan, dan bahkan Hari Kiamat atau kehidupan pasca kematian. Hal itu didasari oleh banyaknya benda-benda kesukaan mereka yang masih tertimbun, dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup setelah mereka seperti; me-mummi-kan jasad orang-orang mati, dan membangun kuburan-kuburan berbentuk piramida yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama untuk mengantisipasi mayat-mayat tersebut supaya tidak terkubur dan tertimbun. Semua ini adalah bukti atas kepercayaan masyarakat silam pada Sumber Awal (Tuhan) dan Hari Akhir (Kebangkitan).
Benar bahwa perilaku-perilaku yang menunjukkan kepercayaan religius mereka ini banyak tercemari oleh khurafat dan takhayul. Akan tetapi, karena pembahasan utama kita kali ini adalah pembuktian adanya kepercayaan religius pada masa-masa pra-sejarah, hal ini dapat dijadikan sebagai bukti yang tak terbantahkan.
c. Kajian-kajian Psikis dan Temuan-temuan Para Psikoanalis
Dimensi spiritual manusia dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan religius. Empat perasaan yang popular (atau empat kecenderungan transendental) dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai empat dimensi spiritual manusia. Empat perasaan tersebut adalah perasaan kognitif atau kuriositas, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius.[11]
Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada agama. Meyakini adanya Sumber Awal Yang Agung ini tidak memerlukan dalil terpisah. Barangkali, kepercayaan religius ini terkontaminasi dengan khurafat-khurafat, dan membuat seseorang menjadi penyembah berhala, matahari dan bulan. Akan tetapi, pembahasan kita terfokus pada dasar masalah; (yakni adanya kecenderungan terhadap Tuhan, Sumber Awal, dan Hari Akhir).
d. Kekecewaan Terhadap Propaganda Penentang Agama
Kita menyaksikan propaganda intensif anti-agama dalam lintasan akhir-akhir kurun ini, khususnya yang merebak di belahan bumi Eropa dan berlangsung gencar. Ditinjau dari sisi penyebaran dan penggunaan pelbagai sarana, propaganda ini tidak tertandingi.
Tatkala gerakan sains Eropa (Renaissance) yang diusung oleh kaum cendikia dan politisi memberikan kekuatan kepada mereka untuk melepaskan diri dari hegemoni dan dominasi gereja, gelombang anti-agama[12] ini sedemikian hebat bangkit di Eropa sampai pesan-pesan ateisme muncul ke permukaan. Khususnya penetrasi yang dilakukan oleh para filsuf dan ilmuwan alam membantu mereka untuk mengoncang seluruh fondasi agama, sehingga keberadaan gereja menjadi terpuruk, figur-figur religius Eropa mengasingkan diri, keyakinan kepada wujud Tuhan, mukjizat, Hari Kebangkitan, kitab-kitab suci dipandang sebagai bagian dari khurafat. Akhirnya, mereka membagi perkembangan umat manusia ke dalam empat periode: periode legenda dan mitos, periode agama, periode filsafat, dan periode sains. Berdasarkan klasifikasi ini, masa agama telah lewat dan berlalu dari hadapan kita.
Dan sebagai konsekuensinya, dalam literatur-literatur Sosiologi yang telah mengalami kemajuan pesat pada masa kini, disebutkan bahwa pada masa tersebut, masalah ini telah dianggap sebagai sebuah hukum pasti bahwa agama memiliki faktor natural. Kini faktor-faktor tersebut adalah kebodohan, rasa takut, hajat terhadap kehidupan sosial, dan atau masalah-masalah ekonomi. Tentunya, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara para sosiolog.
Benar bahwa agama yang berkuasa pada masa itu adalah gereja Abad Pertengahan. Karena arbitari (penghakiman) yang tanpa belas kasihan dan perlakuan-perlakuan buruk mereka terhadap masyarakat secara umum dan para ahli ilmu alam secara khusus, ketenggelaman dalam gaya hidup aristokrat dan glamor, melupakan tekanan-tekanan yang sedang menimpa orang-orang tertindas. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan tersebut. Akan tetapi, anehnya masalah ini tidak hanya tertuju kepada paus dan gereja, tetapi malah merasuki seluruh agama dunia.
Kaum komunis juga -dengan tujuan melenyapkan agama- turun ke kancah dengan segenap kekuatan. Seluruh sarana propaganda dan pemikiran filsafat mereka dikerahkan untuk mewujudkan sasaran-sasaran propaganda. Mereka berupaya semaksimal mungkin memperkenalkan kepada masyarakat dunia bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
Namun, kita melihat gelombang raksasa anti-agama ini tidak mampu memadamkan bara dan semangat agama yang mengakar pada lubuk hati manusia. Kecenderungan religius tumbuh bersemi, dan bahkan di negara-negara komunis sendiri. Informasi terakhir menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan para penguasa di daerah-daerah ini kepada agama, khususnya kepada Islam. Bahkan di negara-negara komunis yang kendati masih berupaya untuk melenyapkan agama, justru menunjukkan hasil yang sebaliknya, bahwa yang menggejala adalah gerakan penyebaran agama.
Masalah ini mengindikasikan dengan baik bahwa agama memiliki akar di dalam fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, agama dapat menjaga dirinya dalam menghadapi gelombang propaganda yang menentang keberadaanya. Kalau bukan karena mengakarnya agama ini pada diri manusia, niscaya agama hingga kini sudah dilupakan orang.
e. Pengalaman Pribadi dalam menghadapi Getirnya Kehidupan
Alangkah banyaknya orang yang belajar tentang kebenaran dalam kehidupan mereka ketika ia menghadapi kesulitan-kesulitan yang menyita energi mereka, seperti badai cobaan hidup yang keras dan keterperangkapan dalam petaka. Dalam menghadapi semua ini, seluruh gerbang penyelamat lahiriah tertutup di hadapannya. Ketika itulah ia merasakan sisa-sisa harapan yang hangat dari kedalaman jiwa dan perhatiannya tertuju kepada Sumber Awal (Tuhan) yang mampu memecahkan seluruh kesulitan yang sedang dihadapinya. Hati bergantung kepadanya dan berupaya mencari pertolongan dari-Nya.
Bahkan kondisi ini pun dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam keadaan normal dan tidak memiliki kecenderungan religius. Mereka juga mengambil manfaat dari reaksi-reaksi ruh ini tatkala penyakit-penyakit akut dan kekalahan-kekalahan getir menerpa kehidupan mereka.
Semua ini adalah bukti nyata atas realitas yang ditegaskan oleh Kitab-kitab Suci tentang kefitrahan ma’rifatullâh dan keorisinilan kecenderungan religius pada diri manusia. Dari sudut hati dan lubuk jiwa yang paling dalam ia mendengarkan dengan kuat dan ekspresif seruan lembut dan penuh kasih, yang menuntunnya ke arah Realitas Agung Yang Mahatahu, Mahaperkasa, dan Mahatinggi, yang bernama Allah atau Tuhan. Boleh jadi seseorang memberikan nama lain atas-Nya. Persoalannya tidak terletak pada pemberian nama, tetapi terfokus pada iman kepada realitas tersebut.
f. Kesaksian Para Ilmuan atas Kefitrahan Kecenderungan Religius
Masalah kefitrahan agama bukanlah masalah yang terbatas hanya pada ayat dan riwayat saja. Ucapan-ucapan para ilmuwan dan filsuf non-Muslim dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam masalah ini.
Sebagai contoh, Einstein, ketika memberikan penjelasan detail seputar pembahasan ini berkata, “Satu keyakinan dan agama -tanpa kecuali- ada pada setiap orang. Aku menamakannya ‘Perasaan Religius Penciptaan’. Dalam agama ini, manusia merasakan dirinya begitu kecil-tak berharga, menemukan tujuan-tujuan umat manusia dan keagungan yang bersemayam di balik (agama) dan fenomena semesta. Ia melihat dirinya sebagai satu jenis penjara. Terkadang ia ingin terbang meninggalkan sarang, dan seluruh keberadaan ditemukannya dalam bentuk satu realitas.”[13]
Pascal, seorang ilmuwan ternama, berkata, “Hati memiliki argumen-argumen yang tidak dapat dicapai oleh akal.”[14]
William James berkata, “Aku menerima dengan baik bahwa sumber kehidupan adalah religius (hati). Aku juga menerima bahwa formula dan tuntunan-tuntunan praktis filsafat tak ubahnya seperti subjek yang telah diterjemahkan dan teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain.”[15]
Max Muller berkata, “Para pendahulu kita, sejak pertama kali menundukkan kepala ke haribaan Tuhan, mereka bahkan tidak mampu memberikan nama untuk Tuhan.”[16]
Di tempat lain, Muller menyampaikan keyakinannya yang bertentangan dengan pendapat main-stream. Ia berkata, “Agama dimulai dengan penyembahan terhadap alam, benda-benda, dan berhala. Setelah itu, penyembahan kepada Tuhan yang satu. Paleontologi (ilmu yang mengkaji tentang kehidupan masa pra-sejarah dengan menggunakan bukti-bukti forensik) membuktikan bahwa menyembah Tuhan yang satu telah berlangsung semenjak zaman dahulu.” [17]
Seorang ahli sejarah bernama Palutark berkata, “Sekiranya Anda memandang pelataran semesta ini, Anda akan jumpai banyak tempat yang di situ tidak ada data mengenai rekonstruksi, pembangunan, ilmu, industri, politik, dan negara. Akan tetapi, Anda tidak akan menjumpai tempat yang di situ tidak ada Tuhan.”[18]
Samuel Kning dalam bukunya Jâme’eh-shinâsi (Sosiologi) berkata, “Seluruh umat manusia memiliki jenis agama. Meskipun para etnolog (ahli yang mengkaji tentang etnis), petualang dan muballig pertama Masehi menyebutkan adanya kaum yang tidak memiliki agama dan kepercayaan. Akan tetapi, setelah itu diketahui bahwa laporan-laporan mereka tidak memiliki landasan. Penilaian mereka hanya berdasarkan pada indikasi yang beranggapan bahwa agama kaum ini serupa dengan agama mereka.”[19]
Pembahasan ini kami akhiri dengan meminjam ucapan Will Durant, sejarawan terkemuka kontemporer. Ia berkata, “Sekiranya kita tidak berpendapat bahwa agama memiliki akar-akar pada masa pra-sejarah, maka kita tidak akan mengenal sejarah dengan baik seperti yang kita kenal sekarang ini.”[20]
Mengapa Manusia Berhajat kepada Agama?
Setelah mengulas beberapa asumsi kemunculan agama dan latar belakang sejarah atas hajat manusia terhadap agama, kini mari kita mendedah, alasan-alasan mengapa manusia berhajat dan memerlukan agama dengan memaparkan beberapa unsur yang memantik manusia untuk beragama.
1. Agama menjawab sense of religion
Menyingkap perasaan keberagamaan pada diri manusia, dan pengakuan terhadap perasaan ini merupakan salah satu unsur pertama, yang tetap dan natural pada jiwa manusia. Di samping ketiga naluri dan insting yang ada pada diri manusia, ia juga memiliki naluri atau perasaan keempat yang bernama naluri untuk beragama. Keempat naluri tersebut adalah:
a. Naluri Kognitif atau Kuriositas, yang mengkondisikan manusia semenjak awal penciptaan untuk mencari dan menelusuri masalah-masalah yang kabur dan buram tentang siapa yang menciptakan alam semesta ini. Dan perasaan atau naluri ini yang memotivasi para penemu dan inventor untuk menyingkap tirai yang menyelimuti alam semesta.
b. Naluri Etis, yang menumbuhkan etika dan sifat-sifat utama dan transendental pada jiwa manusia.
c. Naluri Estetis, yang memunculkan seni dan menjadi sebab berseminya berbagai cita rasa kesenian.
d. Naluri Religiusitas adalah naluri atau perasaan yang dirasakan oleh setiap orang pada awal-awal masa baligh dan sebuah jenis kecendrungan terhadap alam metafisika. Penemuan naluri pada abad keduapuluh telah menciptakan perubahan pada pemikiran para cendikiawan Barat dan memaksa kaum Materialis untuk merubah cara pandang mereka.
2. Agama menjawab Kuriositas
Setiap insan menemukan tiga pertanyaan asasi dalam dirinya ihwal: Aku berasal darimana? Untuk keperluan apa? Akan kemanakah aku melangkah?
Seorang Materialis akan terperangah dan tertunduk dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan ontologis semacam ini. Karena mereka berpandangan bahwa keberadaan ekuivalen dengan materi, tentu saja tidak akan dapat menjawab sesuatu yang sumbernya materi. Dan lantaran mereka berkeyakinan bahwa manusia dan semesta tidak memiliki pencipta yang bijaksana; mereka tidak dapat mengintrodusir tujuan dan goal dari keberadaan manusia dan semesta. Dan juga karena mereka beranggapan bahwa keberadaan idem dito materi dan kematian sebagai akhir dan ujung dari kehidupan, mereka tidak dapat mempercayai kehidupan pasca kematian. Tentu saja dalam menghadapi tiga pertanyaan yang disebutkan sebelumnya, mereka akan terperangah dan tertunduk diam seribu bahasa. Sementara agama dengan lantang dan kencang dapat memberikan jawaban atas tiga pertanyaan ontologis di atas. Agama menjawab bahwa manusia dan alam semesta karena merupakan makhluk Tuhan Mahabijaksana, Mahatahu dan Mahakuasa dan Dialah sebagai sumber keberadaan manusia dan semesta, karena Dia yang menciptakan manusia dan semesta tentulah Dia memiliki tujuan penciptaan manusia dan tujuan tersebut adalah untuk mengenal dan mentaati serta sampai kepada kesempurnaan diri dimana hasil dari semua itu dapat dituai pada kehidupan selanjutnya. Kematian dalam perspektif agama merupakan terminal bagi kehidupan yang lain dan ia tidak memandangnya sebagai akhir dari kehidupan. Dan agamalah sebagai satu-satunya yang dapat menjawab ketiga pertanyaan ontologis yang dimaksud.
3. Agama menjawab Perkara Psikologis
Para psikolog di samping membahas masalah fenomena-fenomena yang tak terhitung yang berlaku di dunia ini mereka juga mengurai tentang dimensi kejiwaan manusia. Mereka dalam hal ini berkata, kembalinya manusia kepada agama memiliki efek-efek yang dapat memecahkan pelbagai persoalan yang mendera kehidupan manusia, antara lain:
a. Menciptakan pemahaman dan sikap optimisme di antara manusia.
b. Mengkompensasi segala derita dan nestapa yang dialami manusia.
4. Agama Mengatur Urusan Sosial
Manusia secara natural adalah makhluk sosial (zoon politician). Manusia menghendaki adanya interaksi sosial di antara sesam jenisnya sehingga ia dapat memecahkan berbagai problematika yang dihadapinya secara gotong-royong dan saling membantu satu sama lain. Di samping itu ia juga dapat menghalau berbagai rintangan dan halangan yang merintangi jalannya untuk sampai kepada kesempurnaan dengan berinteraksi dengan manusia yang lain.
Tentang sebab mengapa manusia secara natural ingin hidup berdampingan dengan manusia yang lain terdapat beberapa alasan di balik itu. Akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah konsep dan desain asasi yang diperlukan manusia untuk berinteraksi dan bergaul secara sosial. Dan agama di sini memainkan peran untuk mengatur dan menata relasi dan hubungan yang ada dan seharusnya ada di antara sesama manusia. Peran agama yang mengatur kehidupan manusia itu antara lain:
Pertama, menjelaskan batasan dan tugas masing-masing individu dalam interaksi sosialnya. Karena betapapun seorang individu adalah seorang adil dan tahu akan tugasnya namun apabila rule of game tidak ditentukan maka ia tidak akan dapat menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Kedua, dengan mengimplementasikan serangkaian program kerja yang bermanfaat dan menjelaskan punish terhadap sikap egosentrik dan tidak tahu batasan setiap individu.
Dengan peran sentral agama ini, jaminan untuk terciptanya tatanan masyarakat yang saling menghargai dan tolong menolong dalam rangka mencapai kesempurnaan maknawi dan mengaktualkan potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat dapat dicapai.
Kesimpulan
Dengan menjawab asumsi-asumsi dan hipotesa atas keberagamaan manusia maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat tidak beragama dalam kehidupannya. Agama yang akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan maknawi dan duniawi berkat aturan dan rule of game yang tegas dijelaskan dalam setiap ajaran agama. Melalui agama pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyangkut persoalan-persoalan eksistensial dapat terjawab dengan tuntas dan komprehensif dimana orang-orang yang kontra dengan keberadaan agama dan mencoba memberangus rasa keberagamaan itu dengan menyajikan industri dan sains. Namun manusia karena dalam dirinya mengandung dua dimensi, ragawi dan maknawi, kebutuhan dan dahaga maknawinya tidak akan dapat pernah dapat terpenuhi selain dengan perantara sesuatu yang trasendental. Oleh karena itu, jelaslah alasan ihwal mengapa kita beragama? Adapun tentang agama yang mana yang harus kita ikuti dan yakini kebenarannya, kita akan membahasnya pada kesempatan mendatang.[www.wisdoms4all.co
0 komentar:
Posting Komentar