Suatu hari, Al Imam Fakhrul Wujud kedatangan tamu seorang wanita yang telah membuatkan makanan semalam penuh khusus untuk Al Imam, dan ketika wanita itu sampai di depan pintu rumah Al Imam, maka penjaga pintu berkata: “Ibu mau kemana?” Ibu itu menjawab: “Aku mau menghadiahkan semangkuk bubur ini untuk Sang Imam”.
Maka penjaga itu berkata: “Wahai ibu, lebih baik makanan ini disedekahkan saja kepada fuqara’ karena setiap harinya di dapur Al Imam selalu dipenuhi dengan sembelihan kambing, dan puluhan kilo beras dimasak setiap harinya”. Maka ibu itu merasa kecewa, namun menyadari apa yang telah dikatakan oleh penjaga itu, karena pastilah semangkuk bubur itu tidaklah ada artinya bagi Al Imam Fakhrul Wujud, kemudian ia pun pergi.
Maka, muncullah firasat pada Al Imam Fakhrul Wujud, dan disaat itu beliau duduk bersama tamu-tamunya kemudian keluar berlari untuk mengejar tamunya, padahal belum pernah Al Imam Fakhrul Wujud berlari, seraya memanggil: “Wahai ibu, wahai ibu, apa yang engkau bawa?” Penjaga pintu itu kaget dan terheran karena baru pertama kali melihat Al Imam berlari, maka ibu itu berkata: “Wahai Al Imam, aku hanya membawa semangkuk bubur ini yang kubuat semalaman hanya untuk Imam, namun penjagamu mengatakan bahwa semangkuk bubur ini tidak berarti karena di dapur Sang Imam telah dipenuhi banyak makanan maka lebih baik bubur ini kusedekahkan kepada fakir miskin saja”.
Maka, muncullah firasat pada Al Imam Fakhrul Wujud, dan disaat itu beliau duduk bersama tamu-tamunya kemudian keluar berlari untuk mengejar tamunya, padahal belum pernah Al Imam Fakhrul Wujud berlari, seraya memanggil: “Wahai ibu, wahai ibu, apa yang engkau bawa?” Penjaga pintu itu kaget dan terheran karena baru pertama kali melihat Al Imam berlari, maka ibu itu berkata: “Wahai Al Imam, aku hanya membawa semangkuk bubur ini yang kubuat semalaman hanya untuk Imam, namun penjagamu mengatakan bahwa semangkuk bubur ini tidak berarti karena di dapur Sang Imam telah dipenuhi banyak makanan maka lebih baik bubur ini kusedekahkan kepada fakir miskin saja”.
Maka Al Imam Fakhrul Wujud berkata: “Belum pernah ada hadiah yang lebih membuatku gembira selain hadiah darimu ini, jazakillah khairal jazaa”. Kemudian Al Imam menerima makanan itu dengan gembira lalu beliau memberi ibu itu 1000 dinar. Kemudian Al Imam kembali kepada penjaganya dan berkata: “Tahukah engkau bahwa ibu itu telah susah payah membuatkan makanan untukku walaupun sedikit? Maka seperti itulah keadaanku di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala, yang mana aku telah beribadah semampuku namun tidak ada artinya di hadapan Allah, dan jika engkau usir ibu itu barangkali aku pun bisa terusir dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala”. Demikian ketawadhu’an (rendah hati dan kesopanan adab) Al Imam Fakhru wujud Syaikh Abu Bakr bin Salim.
sumber : www.kajianislam.wordpress.com
sumber : www.kajianislam.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar